WELCOME TO MY BLOG

Vikri Haryo Seno
Bahwa keadaan tersebut diatas bisa dikatakan berawal dari masalah besar dalam dunia bisnis kita diberbagai sektor kegiatan yang ternyata diliputi oleh berbagai tindakan yang mencerminkan rendahnya etika bisnis. Bahwa istilah KKN juga berkaitan dengan pelanggaran etika bisnis yang sangat elementer. Rasa malu, sudah dirasakan hampir tidak ada. Semua dilihat dari keuntungan materi, finansial yang sangat berjangka pendek. Karenanya praktek bisnis seperti ini sangat mencerminkan kerakusan dan menghasilkan produk yang tidak kompetitif dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan output yang dihasilkan sangat tidak efesien. Secara lebih rinci bisa dilihat, antara lain sebagai berikut ;
Rendahnya Kejujuran. Hal ini banyak terjadi dalam perjalanan kegiatan dunia usaha di negeri kita. Banyak pelaksana bisnis yang mengutamakan keuntungan fiansial dalam jangka pendek, sehingga mengabaikan kejujuran. Tidak bersikap benar, tulus, jernih, langsung, hati terbuka. Dalam langkah bisnisnya cenderung menipu, mencuri, berbohong, memperdayai konsumen, pelanggan, maupun pemerintah.
Tidak memiliki Integritas. Dalam melakukan bisnisnya prinsip utamanya hanya uang dan untung jangka pendek, sehingga langkah yang dilakukannya tidak terhormat, tidak adil, berani dan bertindak dengan dorongan penuh muslihat dan tipu daya dan hawa nafsu dan bermuka dua.
Tidak Mematuhi janji. Dalam bersikap tidak mampu bersikap penuh kepercayaan, tidak mampu memenuhi janji, mematuhi komitmen dan tidak berpegang berpegang pada surat perjanjian, seringkali mengintrepretasikan perjanjian secara tidak masuk akal, baik masalah policy maupun hal teknis dalam rangka upaya merasionalkan tindakan-tindakannya yang menyimpang untuk keuntungan sendiri.
Loyalitas kepada keuntungan jangka pendek, Loyalitasnya hanya kepada keuntungan jangka pendek, dalam hal ini uang. Sehingga sangat terdorong untuk bersikap tidak jujur dan tidak loyal kepada keluarga, teman, atasan, klien, dan negara. Dia akan dengan sangat mudah mengungkapkan informasi rahasia, baik dalam konteks profesional, ataupun teknis, sehingga dia tak mampu menjaga pertimbangan profesional dengan tidak berusaha menghindari pengaruh buruk dan konflik kepentingan.
Tidak mampu berbuat adil. Dalam Bersikap cenderung untuk tidak adil dan pikirannya terfokus pada dirinya sendiri, tidak berniat untuk menghapus kekeliruan, dan mau menang sendiri, komitmennya hanya terhadap dirinya dan usahanya saja. Tidak mampu berlaku sama terhadap orang lain, tidak mau menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan, sering kali memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkan keuntungannya sendiri.
Tidak peduli pada orang lain. Bersikap tidak peduli, dan kurang berbelas kasihan, tidak mau berbagi rasa, tidak bersikap memberi, melayani orang lain, memberi pertolongan, terutama pada yang bukan kelompok usahanya, ataupun mengabaikan kepentingan masyarakat banyak
Tidak menghargai orang lain. Tidak Menunjukan penghargaan atas kemuliaan manusia, personalitas, dan hak atas orang. Bersikap kurang ramah dan kurang wajar, tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan orang lain untuk membuat keputusannya sendiri; sehingga cenderung merintangi orang lain.
Kurang tanggung jawab. Cenderung untuk tidak menaati hukum, hukum cederung digunakan untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Cederung pula mengakali hukum.Dalam tindakannya cenderung otoriter, tidak mau melaksanakan semua hak-hak dan tanggung jawab demokrasi melalui partisipasi (pemungutan suara dan pengungkapan pendapat), kesadaran sosial dan pelayanan masyarakat. Jika berada dalam posisi memimpin atau memiliki otoritas, tidak menggunakan proses demokrasi secara terbuka dalam pengambilan keputusan, cenderung pula untuk menyembunyikan informasi, tidak transparan.
Cenderung tidak berupaya untuk mencapai yang terbaik, Berupaya menjadi yang terbaik dalam konteks yang salah, artinya yang penting terkenal. Sehingga dalam memenuhi tanggungjawab perorangan dan profesional, tidak bersikap rajin, cenderung malas-malasan, dalam tindakannya seringkali tidak masuk akal, dan kurang tanggung jawab ; melaksanakan tugas dengan ogah-ogahan. Menyerahkan saja pada orang lain dan tidak mampu mengendalian orang-orangnya. Seringkali melakukan dan bertindak untuk hal-hal yang sia-sia.
Tidak memiliki ketanggung-gugatan. Bersikap tidak bertanggung jawab, tidak mau menerima tanggung jawab terhadap keputusannya, tidak memahami lebih dulu konsekuensi tindakan, dan tidak meberikan contoh pada orang lain.
Tidak untuk melindungi dan tidak ada upaya untuk meningkatkan integritas dan reputasi keluarga, perusahaan, profesi dan pemerintah. Seringkali melempar tanggung jawab, apalagi bila menyangkut pada kerugian yang bersifat finansial.
Vikri Haryo Seno
Lebaran sebentar lagi, tapi beberapa hari ini mulai banyak terpajang di beberapa toko, barang-barang beraneka rupa yg disusun sedemikian cantik dan sangat unik, dibikin sangat menarik hingga menimbulkan daya tarik bagi yg melihatnya. Parcel, tidak hanya datang dan ada di setiap lebaran, namun juga di setiap hari Raya besar agama lainnya. Meskipun budaya ini sempat dipertanyakan beberapa tahun terakhir, dan sempat disarankan ditolak, oleh beberapa pejabat pemerintahan, (karena dikhawatirkan punya motif lain). Namun parcel lebaran bagi kalangan masyarakat tetaplah marak, sehingga budaya ini tetap bertahan. Sisi positif parcel tetap bisa diambil manfaatnya, yaitu pengganti diri jikalau tak sempat datang bersilaturahmi, atau buah tangan jika berkunjung ke tempat saudara dan handai taulan.
Dari berbagai macam manfaat dan alasan pembuatan parcel, sangatlah tepat jika dalam pembuatannya atau pemilihan parcel, kita tetap harus memperhatikan 2 hal yaitu, masa berlaku produk (kadaluarsanya) dan tetap memilih produk HALAL

Kalau yang dimasukkan ke dalam paket parcel bukan produk makanan tentunya tidak begitu khawatir, hanya saja kebutuhan masing-masing orang tentunya berbeda. Bila parcel makanan yang akan dikirimkan, biasanya jarang yang dikonsumsi langsung karena makanan-makanan yang ada selama lebaran tentunya masih cukup banyak. kadang parcel baru dibuka setelah lebaran lewat 1-2 minggu. dan praktis parcel hanya menjadi hiasan saja sepanjang minggu pertama lebaran, tentu saja budaya memamerkan parcel ini yang cenderung saat ini banyak terjadi. Semakin banyak parcel yang didapat semakin tinggi prestige penerimanya mungkin.

Bagi distributor Produk Makanan, tentu saja saat ini saat yang tepat untuk “membuang” beberapa produk mereka yang selama ini tersimpan manis di gudang. Bagi pemburu produk murah (agar harga parcel menjadi mahal) tentu saja hal ini bisa menjalin kerjasama yg baik diantara keduanya. Distributor dan pengusaha parcel. Seyogyanya kita harus lebih hati-hati dalam memilih parcel untuk di berikan kepada handai taulan, ataupun menerima parcel baik secara fisik terhadap produk makanan yang diterima, maupun secara lahiriah karena ada maksud tertentu dibalik kiriman parcel tersebut.

Alangkah tepatnya jika “Parcel Lebaran” kita ganti dengan kebutuhan yang bermanfaat bagi si penerima, semisal sembako (gula, mentega, tepung dll) daripada produk kue, kacang atau permen yang hanya akan dikonsumsi dalam hitungan detik. dan yang lebih tepat lagi adalah membagi parcel lebaran kepada orang yang tepat semisal anak yatim, kaum dhuafa dan orang-orang tua. Bukan kepada pejabat pemerintah.

Lebaran hadir dalam nuansa yang baru di rumah kita, setelah sebulan penuh berpuasa, Insya Allah makan kue dan ketupat dari rezeki yang berkah, senantiasa pula dengan makanan yang barokah dan halal.
Vikri Haryo Seno

Rupanya peredaran daging ayam di pasaran masih banyak ditemui berbagai kasus dari mulai ayam tiren (ayam mati kemarin), ayam suntik atau ayam gelonggongan, ayam formalin dan masih banyak lagi ayam-ayam yang dijual dengan nekat melanggar kesehatan dan agama. baru-baru ini petugas kepolisian menggrebek lokasi pemotongan ayam di kawasan Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Banten. Kendati barang bukti berupa formalin sudah didapat polisi, para pemiliknya berupaya mengelak. Setelah disidik, para pedagang ayam potong ini akhirnya mengakui menggunakan bahan pengawet mayat itu untuk membuat daging ayamnya tampak lebih segar dan tahan lama. Formalin dimasukkan dengan cara disuntik.

Sungguh ironis. Di bulan Ramadhan yang penuh ampunan ini, masih banyak orang yang melakukan penipuan dan jelas-jelas jauh dari keimanan dan hati nurani. Tengok saja beberapa kasus seperti penjualan daging sapi gelondongan dan ayam suntik yang terus berulang setiap bulan puasa, terutama menjelang Idul Fitri.

Ditambah lagi, satu kasus baru yaitu penjualan makanan olahan yang berasal dari sampah restoran. Permintaan pasar yang melimpah, pedagang yang ingin untung besar, konsumen yang kurang kritis, merupakan celah dari kasus-kasus penipuan itu. Memasuki Ramadhan dan menjelang Lebaran terjadi peningkatan kebutuhan daging ayam dan daging sapi mencapai dua kali lipatnya. Pada hari biasa rata-rata kebutuhan daging ayam nasional mencapai 3-5 juta ekor per hari. Harganya pun bisa naik berkali-kali lipat.

Melihat peluang itu, pedagang nakal memilih menjual daging ayam suntik demi mendapat keuntungan yang besar. Dikatakan ayam suntik karena ayam lebih dulu disuntik dengan air sehingga tubuhnya terlihat lebih montok dan berisi. Cara ini dianggap bisa menarik pembeli. Pedagang daging sapi pun tak ketinggalan licik. Mereka menjual daging gelonggongan, yakni daging dari sapi yang diberikan minum air sebanyak-banyaknya sebelum disembelih. Tujuannya sama, meningkatkan bobot sapi untuk mendapat untung berlebih.

Dengan adanya kasus tersebut, setiap konsumen diingatkan senantiasa tetap waspada dan teliti sebelum membeli. Formalin dalam kadar tertentu sangat berbahaya bagi tubuh. Betapa tidak, bahan pengawet mayat ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, alergi, mematikan sel hingga kanker.

Ternyata, tak mudah bagi petugas memberantas penjualan ayam berformalin maupun glonggongan (tak layak konsumsi) di pasaran. Walau demikian, jual beli ayam di berbagai Pasar berlangsung normal. Sejumlah pedagang menyatakan pembeli yang memiliki banyak waktu memilih membeli ayam dalam keadaan hidup.
Bila Anda tak dapat membeli ayam dalam keadaan hidup, sebaiknya mengenali ciri ayam berformalin supaya tidak tertipu. Yakni, daging ayam tak dihinggapi lalat dan saat dipegang kaku. Waspadai pula ayam suntik air atau glonggongan. Ciri-cirinya berbau anyir, keluar air sewaktu digantung, berwarna pucat, dan biasanya dijual dengan harga murah.

Tak ada salahnya pula membekali pengetahuan Anda soal daging ayam yang aman dikonsumsi supaya kesehatan Anda tidak terganggu. Patut diperhatikan, mengonsumsi ayam berformalin dan glonggongan dampaknya tak langsung terasa, tapi menimbulkan gangguan kesehatan di kemudian hari
Vikri Haryo Seno
RANCANGAN Undang-undang Produk Halal merupakan wujud peran negara dalam melindungi rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Landasan ini juga dipertegas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni pada pasal (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal ini tentunya merupakan ‘’kebijakan’’ yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, atau perlu diubah, atau hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara atau pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti mensejahterahkan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud (Saragih ; 2006 : 18).
Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya telah ada dalam undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tapi kesemuanya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.
Selama ini upaya pemerintah dan produsen untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk.
Peraturan-peraturan yang ada saat ini yaitu UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal berikut sanksi hukum yang jelas.
Namun demikian, tidak terjadi ketidaksingkronan antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam PP tidak disebutkan tanda label halal padahal di UU ini disebutkan. Hal inilah yang perlu diperbaiki. PP tersebut harus dilakukan revisi agar sesuai dengan payung hukum yang telah ada.
Demikian juga dengan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh Menteri. Peraturan Menteri (Permen) yang dibuat harus diperbaiki dan mengacu pada perundang-undangan telah ada. Sehingga terdapat aturan yang dapat ‘’memaksa’’ pelaku usaha untuk pencantuman label ‘’halal’’ pada produk yang dikeluarkannya terutama untuk produk makanan yang tidak dalam kemasan.
Secara teknis tentang pencantuman label ‘’halal’’ Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan SK No : 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan Higiene Pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam.
Menteri Kesehatan juga mengeluarkan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan pada pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ‘’Halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.
Pada pasal 10 ayat 1 Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia. Ayat 2, Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat 1 disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memperoleh Fatwa. Ayat 3, Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
Pasal 11, Persetujuan pecantuman tulisan ‘’Halal’’ diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya pada pasal 12 ayat 1 diatur Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal (Dirjen) memberikan :
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’.
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’.
Pada ayat (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan. Selanjutnya pada pasal 17 diatur Makanan yang telah mendapat persetujuan pecantuman tulisan ‘’Halal’’ sebelum ditetapkan keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan ini selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini.
Jadi dari aturan-aturan yang telah ditetapkan maka seharusnya RUU Jaminan Produk Halal menjadi penyempurna dan mempertegas aturan-aturan yang telah ada namun tidak dapat berjalan dengan optimal karena terbentur berbagai kendala. Terutam ketidaksingkronan antara Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang terjadi pada antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Selanjutnya, RUU Produk Halal dalam peraturannya menjadi lemah dikarenakan keluarnya PP yang mengatur RUU tersebut. Hal ini sama seperti nasib UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Sebab dalam RUU tersebut masih disebutkan adanya PP yang mengatur secara teknis pelaksanaan RUU tentang Jaminan Produk Halal.


Kelemahan RUU Produk Halal
RUU tentang Jaminan Produk Halal juga mempunyai kelemahan dalam aspek biaya. Dengan adanya RUU ini Pemerintah dinilai telah mengeluarkan suatu kebijakan yang menimbulkan high cost economy dan merugikan kepentingan nasional. RUU dinilai akan menambah beban biaya bagi pelaku usaha. Paling tidak, pelaku usaha harus menanggung sertifikat halal yang diatur dalam pasal 19 RUU tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam pasal 18 RUU tentang Jaminan Produk Halal disebutkan, pelaku usaha mengajukan permohonan kepada Menteri Agama untuk mengajukan sertifikat halal. Surat permohonan itu dilengkapi lampiran mengenai data perusahaan, nama dan jenis produk yang digunakan; dan proses pengolahan produk secara singkat.
Hal ini tentunya akan menghilangkan peran LP POM MUI sebagai lembaga lembaga sertifikasi halal paling standar dan terbaik di dunia dengan pengalamannya selama 20 tahun. Terbukti barubaru ini 11 lembaga sertifikasi dari 11 negara di Asia, Australia, Eropa dan AS telah belajar soal sertifikasi halal, bahkan standar sertifikasi halalnya telah diikuti dan digunakan di berbagai negara. Sedangkan tahun lalu sebanyak 100 peserta dari berbagai negara mengikuti pelatihan sertifikasi halal di LPPOM MUI. (Dr Tjipto Subadi MSi).
Selanjutnya terjadi resistensi atau penolakan masyarakat saat RUU ini akan dikeluarkan. Ini menunjukan para penyelenggara negara tidak menarik atau merumuskan nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis sehingga lembaga negara tidak peka terhadap kedua hal tersebut. Meminjam istilah Teuku Mohammad Radhie, idealnya adalah legal framework,yaitu sebuah kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari dari hukum suatu negara, (Radhie ; 1997: 211) bukan lembaga genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga – lembaga negara itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada aspirasi masyarakat secara umum. Adanya resistensi ini juga menunjukan subsistem politik lebih powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada subsistem hukum.( Satjipto Rahardjo ; 1983 : 71).
Menurut Mochtar Kusumaatmaja proses pembentukan perundang-undangan harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevant) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan hendak merupakan suatu pengaturan hukum efektif. Efektifnya produk produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Produk hukum yang menjauhkan tata hukum dengan realita masyarakat, umumnya selalu menimbulkan ketegangan antara positivitas dengan masyarakat, karena ruling class hanya ingin mempertahankan kekuasaannya atau memupuk (mengkonsentrasikan) kekuasaan pemerintahan itu di tangannya sendiri sedang kepentingan sosial (masyarakat umum) diabaikannya. Dengan demikian perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam produk hukum yang telah ada dan berlaku di masyarakat saat ini.

Untuk Melihat RUU Jaminan Produk Halal Klik Disini