WELCOME TO MY BLOG

Vikri Haryo Seno
Tersentak membaca berita media massa hari ini yang menyebutkan bahwa terpidana kasus Korupsi Artalyta Suryani mendiami salah satu blok penjara di Rutan Pondok Bambu Jakarta dengan fasilitas kamar VVIP.

Selama ini penjara selalu kita bayangkan sebagai tempat para penjahat yang terkesan angker dan gelap. Namun pandangan tersebut seketika berubah ketika satgas melakukan sidak secara tiba-tiba ke sejumlah lapas di Jakarta. Sangat mengherankan yah kenapa Penjara seperti ini, yangf mungkin hanya kita dengar ada di Negara lain, ternyata ada di Indonesia.

Konon Kamar yang di tempati Ayin(Artalyta.red) mirip kamar hotel yang berkelas dengan berbagai fasilitas mewah seperti kamar ber AC, TV flat, alat komunikasi, ada sofa, lemari es dan sebagainya bahkan kamar tersebut di lengkapi Ruang Kantor yang memungkinkan terpidana kasus Suap Jaksa Urip ini bisa mengendalikan aktivitas bisnisnya dari balik kamar penjara, Keren kan??, lalu pertanyaan selanjutnya kenapa bisa pejabat yang terkait bisa dengan mudah memberikan fasilitas mewah seperti itu? Padahal penjara semestinya adalah tempat untuk memberikan “pelajaran” yang setimpal atas perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang telah di perbuat oleh para narapidana, seharusnya lingkungan penjara berbeda dengan lingkungan di luar penjara yang memungkinkan seseorang mengespresikan “kebebasannya”.


Masalahnya, tak semua ruangan penjara berfasilitas semewah itu. Artinya hanya narapidana tertentu yang bisa menempati ruangan spesial itu. Besar dugaan terjadi diskriminasi antara sesama narapidana. Seorang penghuni sel mewah tersebut mengaku mendapatkan barang-barang di selnya atas pemberian orang lain. Namun tak tertutup kemungkinan para tahanan membayar sejumlah uang kepada petugas rutan untuk mendapatkan fasilitas mewah ini.


Diskriminasi yang terjadi di Lapas ini mungkin tidak hanya terjadi di LP Tahanan Wanita Pondok Bambu Jakarta Timur. Seperti yang kita tahu, penjara adalah tempat dimana para pesakitan dihukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang melanggar. Sebagai bentuk hukuman, mereka diputuskan dengan dunia luar selama beberapa waktu, tergantung beratnya kasus yang melibatkannya. Namun apa yang kita lihat di LP Pondok Bambu itu berkata sebaliknya.

Sudah saatnya pemerintah merefleksi kinerja aparat hukum, dalam hal ini petinggi lapas dan bawahannya. Untuk apa artinya hukuman penjara kalau dalam pelaksanaannya tidak ada bedanya dengan kehidupan sehari-hari? Bukankah hukum tidak memandang bulu? Nama, jabatan, status sosial semua sama di mata hukum. Apakah hukum di Indonesia dengan mudahnya dapat dibeli?


sumber : Kompas.com


vikrii_chiaki

0 Responses

Posting Komentar